Oleh : Kudhung Sarung
Banjir. Itulah yang terjadi di Jakarta awal tahun 2013 silam. Hal yang mungkin “sedikit” memalukan bagi sebagian orang di republik ini mengingat Jakarta adalah ibukota negara. Repot dan menjengkelkan tentunya, bagi sebagian besar warganya. Banjir di ibukota ini cukuplah menjadi gambaran tentang betapa susahnya bila banjir melanda. Mulai dari terhambatnya aktifitas masyarakat, ancaman penyakit hingga presiden yang musti rela gulung celana. Tapi pernahkah terpikir oleh kita tentang asal-usul banjir ini? Mari kita coba pikirkan dengan nalar yang semurni-murninya, dengan niat yang suci untuk mencari akar permasalahan tentang banjir, untuk kemudian mengakui bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, agar kita semua tahu tentang bagaimanakah cara mencegah banjir dengan benar. Merdeka...!!!, eh... tapi masalah nanti para penguasa bersedia membuat kebijakan untuk mengatasi banjir secara benar atau tidak, itu tentu sesuai selera mereka, ya toooh...??!! satujuuuu...
Sebelum kita ndobos lebih lanjut, marilah buat kesepakatan tentang kata “banjir” itu sendiri. Kalau menurut saya, ini menurut saya lho.. (tapi anda harus sepakat) pernyataan tentang banjir itu sangat subjektif. Tergantung siapa yang menyatakan. Untuk lebih mudahnya, kita lihat dari sudut pandang manusia sebagai subjek yang menyatakan. Apabila terdapat sebuah genangan air yang tidak berada di tempat yang semestinya, namun tidak sampai mengganggu (atau mengganggu tapi sedikit) kegiatan manusia, maka cukuplah kita sebut genangan. Tapi apabila genangan itu mengganggu hajat hidup manusia, maka itulah yang disebut banjir. Yang terakhir itu bolehlah disebut dengan rob, air pasang, air bah, atau sebutan lainnya sesuai kekhasan di berbagai tempat.
Setelah kita sepakat mengenai istilah di atas, monggo kita lanjutkan pada waktu terjadinya banjir. Di beberapa tempat di dunia ini ada yang namanya banjir musiman. Untuk yang demikian ini masyarakat relatif enjoy menghadapinya. Yang mau berangkat kerja ya kerja, yang mau sekolah ya tarik maaang..., enjoy lah, karena mereka sudah mengantisipasi banjir jenis ini, sudah hafal jurusnya. Terganggu sih iya, tapi kegiatan jalan terus. Yang biasanya naik mobil mewah ganti pakai kapal pribadi. Yang mahir geber motor jadi luwes ayun dayung. Tentara yang lazim pake MBT, kali ini gagah nangkring di atas tank amphibi. Odong-odong mas? Nggak laku.. soalnya pasti klelep juga, dan sebagainya dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan banjir non musiman, tapi Mujiman? Lhadalah... ngeledek, wong nama saya Namijum. Itu mah dibalik... bingung, cape’ dueeeckh... haiyyaaaaa...
OK.. OK..
Untuk yang banjir non musiman atau tak terduga, biasanya yang dapat musibah emang sengsara betul. Banjir jenis ini bisa berasal dari air hujan yang super dueres en lama, atau bisa juga dari gagalnya fungsi fasilitas buatan manusia. Di Jakarta pernah terjadi yang seperti ini. Jebolnya tanggul Situ Gintung beberapa tahun lalu contohnya. Efeknya dahsyat. Bayangkan orang lagi enak-enak bobo’, eh.. klelep. Atau misalnya anda sedang nikmat nyeruput Kopi Luwak (asli) yang rasa dan harganya tiada tara, tiba-tiba air bah melanda, masuk di cangkir bercampur dengan kopi nan nikmat, padahal tuh bibir dah monyong ke cangkir... sluurrrph... HUEEKKHHH.. bwueh.. bweh.. Duh, sial nian. Belum lagi kalau sampai harta benda hanyut, jiwa melayang.
Itu banjir dipelototin dari sudut waktunya. Lalu dari sudut yang lain, semisal lokasi-lokasi tertentu yang secara geografis (atau apalah istilahnya) memang berpotensi akan terjadi banjir. Sebagai contoh adalah daerah aliran sungai (DAS). Wilayah DAS ini berpotensi dilanda banjir lebih besar dibanding tempat lainnya. Kenapa bisa? Ya karena berada di sepanjang aliran sungai, atau sepanjang lembah sungai. Jadi saat sungai meluap maka daerah ini akan tergenang, dan disebut sebagai banjir. Banyak DAS di dunia ini yang memiliki siklus banjir secara alami, mengikuti tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi. Pada saat musim penghujan dengan curah yang tinggi, maka di DAS tersebut akan terjadi genangan. Bila DAS itu tidak dihuni manusia maka masih belum disebut banjir. Kenapa? Karena tidak mengganggu hajat hidup manusia. Hal ini mirip dengan keadaan banyak pulau-pulau kecil kosong tak berpenghuni yang timbul tenggelam seiring pasang surutnya air laut. Saat air laut pasang maka pulau kecil tersebut akan tenggelam, tapi tidak akan ada yang mengatakan bahwa pulau itu kebanjiran kan??!! Nah... mungkin juga dulunya saat manusia belum banyak, DAS yang punya jadwal banjir musiman itu tidak berpenghuni. Trus, saat manusia makin banyak, makin butuh tempat, dan pas nggak ada genangan, ada orang datang liat-liat deh.. “Eh, ini tempat bagus buat real estat en kawasan bisnis, mau gue kasih nama STRES”, begitu gumamnya. Dengan kepiawaian lobi sana-sinu, keluar deh ijin pembangunan. Trus nggak lama kemudian muncul celoteh iklan di media, tentang “STRES, kawasan pemukiman dan bisnis siap huni, dengan pemandangan sungai yang elok menghanyutkan, fasilitas komplit, hanya 5 menit ke pusat kotaNG (dalam dongeng ini nama kotanya emang NG, singkatan dari Nieuw Gakarta, itu cuma lupa spasi doank), cocok untuk investasi, khusus hari ini diskon 50%, ayo buruan beli, tinggal 5 biji.... dan bla bla bla blek blik bluk klonthank tlebug!!!!”.
Laluuuuuuu.... setelah pembangunan selesai, fasilitas lengkap, banyak penghuni, kegiatan bisnis lancar, datanglah musim hujan dengan curah yang tinggi.
Mula-mula para penghuni cuek dengan berita di media bahwa “ketinggian air di pintu air A (Atulampa) melonjak sekian ratus centimeter, masyarakat di sepanjang DAS harap waspada!”. Lalu breaking news, “genangan air mulai memasuki kawasan elit STRES (Special Terrain for Residence and Economic Society – namanya juga kawasan elit, biar ngawur nyang fenting Engglis boo’). Itu para tuan penghuni mulai deh atur sana-sini, perintah mbok bibi emban PRT supaya amankan harta benda.
“..naik ke loteeeng...!”
“amankan muataaan, bajak laut mendekaaat... pasang layaaaaar..”
Lalu, semua jadi sibuk.
Presiden sibuk (gulung celana).
Menteri sibuk berkoordinasi, wakil rakyat sibuk sidak (kalau perlu sekalian cermati potensi suara untuk pemilu berikut), Pak Lurah, RT, RW, aparat, sibuk menyalurkan bantuan (kalo nyang beginian mah sibuk beneran, kerja beneran, dalam arti sebenarnya..)
Para PRT pun sibuk (ini juga sibuk kerja beneran..).
Lalu.. semua sibuk bikin pernyataan di media, dengan teori masing-masing, tentang “bagaimana seyogyanya agar banjir tidak terjadi lagi”.
Tapi umumnya tidak sadar, bahwa banjir juga butuh berekspresi, butuh tampil, butuh diapresiasi, pada tempat dan saat nya yang memang sejak dulu di situ, begitu.
Dan, tadi itu tentang kenapa banjir dari sudut waktu dan lokasi.
Dari sudut yang lain? Penyebabnya?
Mari kita renungkan...
* * *
“saudara, berikut ini adalah laporan langsung dari kawaan elit STRES, dimana ketinggian banjir saat ini mencapai 2 meter.” Dan untuk mengetahui pendapat warga, kita tanya langsung kepada seorang warga STRES ini”.
“selamat siang bapak.”
“ya, selamat siang.”
“emm.. kalo boleh tau kira-kira apa penyebab banjir ini sehingga luapannya sedemikian tinggi pak?”
“jelas ini karena sungai meluap, bagusnya sungai itu ditanggul saja, pemerintah tidak peka siiih..”
“oo.. iya pak, terima kasih pak”.
* * *
No comments:
Post a Comment