Tulisan
pemikiran ini khususnya ditujukan kepada pemerintah selaku pembuat perencanaan
dan kebijakan, buat wakil rakyat yang terhormat, yang bolehlah kiranya sedikit
berbesar hati memahami tulisan ini di sela-sela jadwal yang padat, buat rakyat
sejawat yang sehari-hari harus unjuk kebolehan di jalanan yang sarat. Dan buat
aparat, yang bagi mereka segala
pelanggaran harus disikat.
Bapak
Pejabat dan wakil rakyat yang sangat saya hormati, rekan sejawat, serta anggota
aparat yang selalu merespon cepat, sebelum berbicara panjang lebar ijinkan saya
untuk menceritakan keadaan alat transportasi yang saya miliki. Hal ini juga
untuk menjamin objektivitas pemikiran saya dan agar tidak disebut iri karena
tidak punya mobil. Keluarga saya terdiri dari empat orang yaitu saya sendiri,
istri dan dua orang anak. Sedangkan kendaraan terdiri dari satu unit mobil
sedan merk ADNOH (gunakan spion please..)
warna putih, mobil ini cantiknya bukan main Pak, nyaman empuk eyup, ACnya suejuk, kaga’ malu-maluin di jalan dah pokokna, lalu dua unit sepeda motor;
satu transmisi manual satu lagi matic, terus satu unit sepeda BMX, satu unit
sepeda MTB NOGYLOP (lagi-lagi pakai spion please..),
satu city bike juga NOGYLOP, dan satu
lagi sepeda tua merk entahlah, sepeda pos, pemberian dari Bapak saya yang
didapat beliau saat masa-masa awal berdinas sebagai pengantar surat di Kantor
Pos Yogyakarta era 70an.
Khusus
untuk mobil putih cantik tadi, kondisinya JARAN
NGAMPET alias JARANg dipakai
kecuali kondaNGAn Mantenan atau kepePET. Dipakai kondangan mantenan karena sekeluarga ikut, kepepet
karena misalnya sekeluarga besar sowan ke mBah Buyutnya anak-anak yang memang
masih sugeng dan alhamdulillah sehat wal afiat.
Sekarang
masuk ke topik pembicaraan tentang kondisi lalu lintas dan jalan raya di negara
kita, terutama di kota-kota besar yang padat dan sering macet. Penyebabnya
dapat diketahui dengan logika yang sangat sederhana, yaitu : dengan kondisi dan
kebijakan pemerintahan yang sudah-sudah, pertambahan jumlah kendaraan selalu
lebih cepat daripada pembangunan jalan baru atau pelebaran jalan.
Dan, padune (kata dalam Bahasa Jawa, padanan
dalam Bahasa Indonesia tidak ada yang pas) masyarakat yang merasa kaya (buktinya
punya mobil pribadi) tidak mau beralih menggunakan kendaraan roda dua karena
gengsi, wacana di masyarakat seakan diarahkan bahwa yang lebih memacetkan
adalah sepeda motor, yang notabene merupakan kendaraan roda dua (KR-2) yang
hemat ruang. Hemat ruang di jalan dan di parkiran.
Bahkan
selama ini kesan negatif pengendara sepeda motor lebih sering ditonjolkan, yang
ugal-ugalan lah (sifat pengendara,
pengemudi mobil yang begini juga sak
bajeg), yang sering naik trotoar (karena di jalan penuh mobil), menyalib
lewat kiri lah (mau gimana lagi, lha tuh mobil jalannya pelan di tengah, sopirnya
main gadget, mau menyalip lewat kanan
terlalu beresiko, mau diikuti di belakang kok
nggak
nyampe-nyampe), balik arah sembarangan (mobil tidak dianggap sembarangan
karena dibantu Pak Ogah, padahal saat
belok lebih bikin macet), dan sebagai-bagainya.
Berikutnya,
sebagai makhluk yang dikaruniai akal, marilah kita coba renungkan dengan
kepasrahan jiwa, ikhlas, sabar, adil, jauhkan emosi dan gengsi, dan
sejujur-jujurnya. Berpijak pada kenyataan bahwa benda yang disebut “lebih besar”
adalah benda yang menempati ruang yang lebih besar pula. Ini adalah kenyataan
tak terbantahkan. Demikian juga dengan konsumsi ruang di jalan raya. Semakin
besar kendaraan maka semakin besar pula kebutuhan ruang baginya. Mobil pribadi
berukuran lebih besar daripada KR-2, memakan ruang yang lebih besar di jalan
raya. Parahnya lagi bahwa besarnya konsumsi ruang di jalan tidak diimbangi dengan
pengisian kapasitas. Jarang-jarang mobil pribadi yang terisi setengah dari
kapasitasnya.
Kalau
KR-2 dianggap sebagai biang kemacetan, coba bayangkan bila suatu hari di
wilayah DKI Jakarcha, misalnya tanggal 1 semua orang yang akan bepergian
disuruh memakai mobil pribadi, lalu hari berikutnya (tanggal 2) semua orang
disuruh memakai KR-2, lalu bandingkan kondisi dari dua hari itu, kalau
berpikirnya logis dan ikhlas, kita akan mengatakan bahwa hari pertama, yaitu di
tanggal 1, banyak orang mengeluh terlambat masuk kerja, bahkan tidak jadi masuk
kerja, bersalin di jalan, tidur hingga bangun lagi di jalan, buang air di
jalan, berkelahi di jalan, menagih utang di jalan, akad nikah di jalan (dilakukan
via telepon mungkin), atau membangun rumah di jalan (terlalu lama di mobil
sampai-sampai mobil dianggap sebagai rumah, lalu dilengkapi dengan kompor, MCK,
jemuran baju, eskalator dan lain-lain), atau juga mati di jalan (karena stress
berat).
Lalu
bagaimana pendapat anda di tanggal 2?
“Oooh lancar jayaaaa...”.
“O iya, kmaren tanggal dua bisa
berangkat kerja sekalian antar anak ke sekolah, soalnya waktu mau berangkat
liat ke jalan kok kaya’nya lancar banget gitu, eh.. pas pulangnya mampir di
sekolah lagi ternyata pas jam selesai pelajaran, ya udah akhirnya pulang
sama-sama”.
“Ehmm.. gua brangkat sekolah ama emak
gua, seneng banget soalnya bisa anter emak ke pasar, trus dapet tambahan
goceng, kan lumayan tuh.. he he..”
“Duh ngeri deh mas.. pas liat ambulan
kenceng bener, mungkin gawat darurat kali ye?”
“Lumayan bang, nyang parkir motor
semue, ni parkiran muat lebih banyak, otomatis kantong makin tebel deh.. hok
hok ohok ohok hueeek juuh.. (suara parau, mungkin sedang batuk pilek).
“Kita berusaha semaksimal mungkin
melayani masyarakat, dan kali ini meluncur ke TKP secepat kilat, biasanya
macet. Krrk.. krrk.. kucing satu harap siaga krrk.. krrk.. Siap ndan, lapan
nam”
“Lhe kalo bhegini terus saye suke
mes, bagemane ye ngomongnye, pokoknye lancher leh, temen-temen ojhek jughe bheghitu
bhilangnye, pelanggen jughe kagek ngomel, soalnye ken cepet ampe tujhuen ghitu” (maksudnya begini : “Lha kalau begini terus saya suka mas, bagaimana
ya ngomongnya, pokoknya lancar lah, teman-teman ojek juga begitu bilangnya,
pelanggan juga kagak/nggak ngomel, soalnya kan cepat sampai tujuan gitu”.
Ini tukang ojek rupanya dari Jawa baru di Jakarta, jadi semua bunyi “a” di
dekat akhir kata diganti dengan bunyi “e”, biar mirip orang Jakarte katenye)
Bagaimana
dengan konsumsi BBM?
Dengan
teknologi yang sama, jarak tempuh yang sama, tentu KR-2 lebih hemat dibanding
mobil, jauh lebih hemat. Kenapa demikian? Ya karena KR-2 mesinnya lebih kecil,
minum BBM lebih sedikit. Secara detail teknis hal ini bisa ditanyakan kepada siswa
STM jurusan otomotif, nggak usah
kepada gurunya, nggak usah kepada
dosen fakultas teknik jurusan mesin di banyak universitas-universitas ternama
di negeri ini. Tidak usah pula diperdebatkan di televisi dengan menghadirkan
pakar mesin dan transportasi. Ini pertanyaan sepele-pelenya.
Belum
lama lalu kelangkaan BBM sempat mendera masyarakat. Mereka rela antri demi setuang
BBM, sampai-sampai ada kejadian orang antri BBM salah jalur, tidak dilayani, lalu
emosi, lalu ngomong di media sosial
dan bikin emosi masyarakat, terus disidang di sekolahnya, lalu dapat sanksi.
Jika
kita ingin menghemat BBM, tentunya gunakanlah kendaraan hemat BBM, salah
satunya adalah dengan menggunakan KR-2, bisa sepeda motor, bisa juga sepeda
kayuh. Yang terakhir itu iritnya tak tertandingi seperti iklan di TV.
Kembali
lagi ke jalan. Bila kita perhatikan di persimpangan jalan yang dilengkapi
dengan lampu pengatur lalu lintas, saat lampu merah berganti hijau maka sepeda
motor akan melaju lebih cepat dibanding mobil, bahkan meliuk di sela-selanya.
Kenapa hal itu terjadi? Karena akselerasi sepeda motor saat itu lebih besar
daripada mobil. Ini terjadi mungkin karena sepeda motor lebih ringan, atau
karena pengendalian motor lebih sederhana dan mudah, atau mungkin juga karena
motor lebih kecil?!!! Sehingga pengendaranya cukup lihat depan dan sedikit
lirik kanan kiri maka keadaan sekitar sudah cukup terkuasai, lalu tancap gas.
Lain halnya mobil, tengok kanan kiri, perhatikan spion kanan kiri, lihat depan,
kanan kiri lagi, dan lagi, dan lagi, belum lagi urusan dengan hand brake.
Anda
ingin segera bebas dari keruwetan semacam ini? Gunakan sepeda motor!
Di musim
kemarau, pemandangan lazim di jalan adalah debu yang bercampur dengan asap
knalpot yang menyesakkan dada. Pengalaman yang paling menjengkelkan adalah saat
kita melaju di belakang mobil di jalan yang tak terlalu lebar. Ketika sesama
mobil berpapasan dan roda kiri harus keluar aspal, mencakar tanah kering dan
menghamburkan debu ke udara, maka kita jua yang menjadi konsumen debu “segar” itu.
Segar dalam arti baru saja diproduksi, tapi eneg
di hati.
Lalu
pernahkah anda punya pengalaman dengan genangan air di jalan? Ini biasanya
terjadi di musim penghujan. Saat hujan atau sesudahnya, jalan yang berlobang
menjadi tempat genangan air yang potensial sebagai “sumber irigasi” yang
efektif bagi pihak di dekatnya, termasuk pengguna jalan lainnya. Saat terlindas
roda kendaraan, fungsi “pengairan” pun berjalan. Air nyiprat sejadi-jadinya.
Volume cipratan berbanding lurus dengan besarnya genangan, lebar ban dan
kecepatan kendaraan. Nah.. lagi-lagi ukuran kendaraan pegang peranan dalam
mengancam kenyamanan. Dan, juga peranannya dalam merusak jalan hingga
menghasilkan cekungan genangan itu tadi. Jadi pilih mana? Apakah anda suka
perjalanan berdebu atau berkubang, atau perjalanan yang mulus segar dan sejuk
tanpa ancaman air comberan?
Dalam
benak kita, mungkin ada pemahaman bahwa besar sama dengan cepat. Pesawat
terbang yang lebih besar terbangnya lebih cepat. Dalam dunia balap Moto GP pun
demikian, makin tinggi kelasnya, makin besar mesinnya, makin tambun motornya,
makin cepat larinya. F1 pun sama, dia
lebih bongsor dibanding gokart, maka
larinya pun lebih dahsyat. Dan pemahaman ini kita bawa saat mencari jenis
kendaraan yang akan kita gunakan untuk kegiatan harian, yang penggunaannya
adalah di jalan raya. Padahal dari semua kendaraan idola tadi tak satupun yang pernah merajai jalanan. Belum pernah
terbukti kehandalannya dalam mengantarkan pemiliknya membelah kemacetan ibu
kota misalnya, atau menjadi juara dalam lomba akselerasi di lampu merah. Semua
hidup di habitatnya, dengan kondisi yang dirancang memang khusus untuk mereka.
Sedangkan
di jalan raya? Di tempat kita ini, jalan raya masih merupakan ajang pembuktian
prestasi berkendara sejati. Tantangannya jauh lebih hebat daripada di lintasan
balap. Para pekerja dan pelajar berangkat pagi pulang siang atau sore. Ibu-ibu
berbelanja atau antar jemput anak sekolah. Dan lain sebagainya, tanpa ada
bendera kuning, safety car, umbrella girl, pit stop, wearpack, sliding
pad, asuransi juga belum tentu ada, dan etc
etc.. dan selalu saja ada pihak yang egois, maunya meniru para idola-nya tanpa merenung dan menyadari
bahwa yang akan dihadapi adalah jalan raya yang menampung bermacam jenis
kendaraan, dengan manuver dan tujuannya masing-masing.
Mengingat
kondisi lalu lintas yang cenderung makin padat dan konsumsi BBM serta polusi
yang kian meningkat, pola pikir yang menganggap besar sama dengan cepat sudah
saatnya kita pertimbangkan kembali. Sekarang mari bayangkan andaikata kita
mengendarai sepeda kayuh atau sepeda motor bermesin 100cc saat berada di jalan
yang lalu lintasnya padat. Adakah di sana pengemudi mobil, atau sepeda motor
dengan kapasitas mesin besar, di atas 150cc misalnya, dapat melesat dan
memanjakan raungan knalpotnya, lalu sesaat kemudian punggungnya lenyap dari
pandangan kita, adakah seperti itu? Rasanya tidak juga, malah kemungkinan besar
punggung itu akan terus menjadi pemandangan yang kita nikmati hingga perjalanan
lancar kembali, dan itu mungkin berarti kita telah berada di gerbang masuk
kantor kita masing-masing.
Makna
dari gambaran situasi di atas adalah bahwa dengan mesin yang lebih besar
(konsumsi BBM lebih boros tentunya) tidak ada jaminan bagi kita untuk mencapai
waktu tempuh yang lebih singkat, Bagaimana dengan kendaraan yang lebih besar?
Anda mungkin tahu jawabannya..
Menggunakan
kendaraan yang lebih kecil juga menambah keuntungan bagi tukang parkir, karena
tempat untuk satu mobil bisa diisi dengan paling sedikit empat KR-2. Tarif
parkir umum di Yogya sekarang (Agustus 2015) satu mobil Rp. 2000,- sedangkan
KR-2 Rp. 1000,-. Malah di beberapa tempat KR-2 nya bisa dipadatkan jadi lebih
dari empat unit pada luasan tempat parkir yang sama. Silakan hitung selisihnya.
Dan bagi para juru parkir, monggo
layani pengguna KR-2 dengan sepenuh hati, dari merekalah rezeki datang lebih
banyak tanpa teriak-teriak “kiri kanan
balas lurus yaaak hooopp... jangan di handbrake
ya Boos...” Belum lagi saat mobilnya mau keluar di jalan yang ramai, masih
pakai acara balik arah lagi, beri aba-aba lagi, atur lalu lintas...
pusyiiing...
Lalu..
kita di pihak mana? Mau jadi pihak penambah ruwet jananan? Atau warga negara
yang baik, yang menggunakan sesuatu sesuai kebutuhan, bukan keinginan?
Monggoooo...
Atau
para pemikir, para peneliti, penentu kebijakan, mau tergerak hatinya untuk
peduli..
Monggoooo
jugaaaa...
No comments:
Post a Comment