Sunday, August 16, 2015

PRIORITAS JENIS KENDARAAN


Tulisan pemikiran ini khususnya ditujukan kepada pemerintah selaku pembuat perencanaan dan kebijakan, buat wakil rakyat yang terhormat, yang bolehlah kiranya sedikit berbesar hati memahami tulisan ini di sela-sela jadwal yang padat, buat rakyat sejawat yang sehari-hari harus unjuk kebolehan di jalanan yang sarat. Dan buat aparat,  yang bagi mereka segala pelanggaran harus disikat.

Bapak Pejabat dan wakil rakyat yang sangat saya hormati, rekan sejawat, serta anggota aparat yang selalu merespon cepat, sebelum berbicara panjang lebar ijinkan saya untuk menceritakan keadaan alat transportasi yang saya miliki. Hal ini juga untuk menjamin objektivitas pemikiran saya dan agar tidak disebut iri karena tidak punya mobil. Keluarga saya terdiri dari empat orang yaitu saya sendiri, istri dan dua orang anak. Sedangkan kendaraan terdiri dari satu unit mobil sedan merk ADNOH (gunakan spion please..) warna putih, mobil ini cantiknya bukan main Pak, nyaman empuk eyup, ACnya suejuk, kaga’ malu-maluin di jalan dah pokokna, lalu dua unit sepeda motor; satu transmisi manual satu lagi matic, terus satu unit sepeda BMX, satu unit sepeda MTB NOGYLOP (lagi-lagi pakai spion please..), satu city bike juga NOGYLOP, dan satu lagi sepeda tua merk entahlah, sepeda pos, pemberian dari Bapak saya yang didapat beliau saat masa-masa awal berdinas sebagai pengantar surat di Kantor Pos Yogyakarta era 70an.

Khusus untuk mobil putih cantik tadi, kondisinya JARAN NGAMPET alias JARANg dipakai kecuali kondaNGAn Mantenan atau kepePET. Dipakai kondangan mantenan karena sekeluarga ikut, kepepet karena misalnya sekeluarga besar sowan ke mBah Buyutnya anak-anak yang memang masih sugeng dan alhamdulillah sehat wal afiat. 

Sekarang masuk ke topik pembicaraan tentang kondisi lalu lintas dan jalan raya di negara kita, terutama di kota-kota besar yang padat dan sering macet. Penyebabnya dapat diketahui dengan logika yang sangat sederhana, yaitu : dengan kondisi dan kebijakan pemerintahan yang sudah-sudah, pertambahan jumlah kendaraan selalu lebih cepat daripada pembangunan jalan baru atau pelebaran jalan.

Dan, padune (kata dalam Bahasa Jawa, padanan dalam Bahasa Indonesia tidak ada yang pas) masyarakat yang merasa kaya (buktinya punya mobil pribadi) tidak mau beralih menggunakan kendaraan roda dua karena gengsi, wacana di masyarakat seakan diarahkan bahwa yang lebih memacetkan adalah sepeda motor, yang notabene merupakan kendaraan roda dua (KR-2) yang hemat ruang. Hemat ruang di jalan dan di parkiran.
Bahkan selama ini kesan negatif pengendara sepeda motor lebih sering ditonjolkan, yang ugal-ugalan lah (sifat pengendara, pengemudi mobil yang begini juga sak bajeg), yang sering naik trotoar (karena di jalan penuh mobil), menyalib lewat kiri lah (mau gimana lagi, lha tuh mobil jalannya pelan di tengah, sopirnya main gadget, mau menyalip lewat kanan terlalu beresiko, mau diikuti di belakang kok  nggak nyampe-nyampe), balik arah sembarangan (mobil tidak dianggap sembarangan karena dibantu Pak Ogah, padahal saat belok lebih bikin macet), dan sebagai-bagainya.

Berikutnya, sebagai makhluk yang dikaruniai akal, marilah kita coba renungkan dengan kepasrahan jiwa, ikhlas, sabar, adil, jauhkan emosi dan gengsi, dan sejujur-jujurnya. Berpijak pada kenyataan bahwa benda yang disebut “lebih besar” adalah benda yang menempati ruang yang lebih besar pula. Ini adalah kenyataan tak terbantahkan. Demikian juga dengan konsumsi ruang di jalan raya. Semakin besar kendaraan maka semakin besar pula kebutuhan ruang baginya. Mobil pribadi berukuran lebih besar daripada KR-2, memakan ruang yang lebih besar di jalan raya. Parahnya lagi bahwa besarnya konsumsi ruang di jalan tidak diimbangi dengan pengisian kapasitas. Jarang-jarang mobil pribadi yang terisi setengah dari kapasitasnya.
Kalau KR-2 dianggap sebagai biang kemacetan, coba bayangkan bila suatu hari di wilayah DKI Jakarcha, misalnya tanggal 1 semua orang yang akan bepergian disuruh memakai mobil pribadi, lalu hari berikutnya (tanggal 2) semua orang disuruh memakai KR-2, lalu bandingkan kondisi dari dua hari itu, kalau berpikirnya logis dan ikhlas, kita akan mengatakan bahwa hari pertama, yaitu di tanggal 1, banyak orang mengeluh terlambat masuk kerja, bahkan tidak jadi masuk kerja, bersalin di jalan, tidur hingga bangun lagi di jalan, buang air di jalan, berkelahi di jalan, menagih utang di jalan, akad nikah di jalan (dilakukan via telepon mungkin), atau membangun rumah di jalan (terlalu lama di mobil sampai-sampai mobil dianggap sebagai rumah, lalu dilengkapi dengan kompor, MCK, jemuran baju, eskalator dan lain-lain), atau juga mati di jalan (karena stress berat).

Lalu bagaimana pendapat anda di tanggal 2?



“Oooh lancar jayaaaa...”.

“O iya, kmaren tanggal dua bisa berangkat kerja sekalian antar anak ke sekolah, soalnya waktu mau berangkat liat ke jalan kok kaya’nya lancar banget gitu, eh.. pas pulangnya mampir di sekolah lagi ternyata pas jam selesai pelajaran, ya udah akhirnya pulang sama-sama”.

“Ehmm.. gua brangkat sekolah ama emak gua, seneng banget soalnya bisa anter emak ke pasar, trus dapet tambahan goceng, kan lumayan tuh.. he he..”

“Duh ngeri deh mas.. pas liat ambulan kenceng bener, mungkin gawat darurat kali ye?”

“Lumayan bang, nyang parkir motor semue, ni parkiran muat lebih banyak, otomatis kantong makin tebel deh.. hok hok ohok ohok hueeek juuh.. (suara parau, mungkin sedang batuk pilek).

“Kita berusaha semaksimal mungkin melayani masyarakat, dan kali ini meluncur ke TKP secepat kilat, biasanya macet. Krrk.. krrk.. kucing satu harap siaga krrk.. krrk.. Siap ndan, lapan nam”

“Lhe kalo bhegini terus saye suke mes, bagemane ye ngomongnye, pokoknye lancher leh, temen-temen ojhek jughe bheghitu bhilangnye, pelanggen jughe kagek ngomel, soalnye ken cepet ampe tujhuen ghitu” (maksudnya begini : “Lha kalau begini terus saya suka mas, bagaimana ya ngomongnya, pokoknya lancar lah, teman-teman ojek juga begitu bilangnya, pelanggan juga kagak/nggak ngomel, soalnya kan cepat sampai tujuan gitu”. Ini tukang ojek rupanya dari Jawa baru di Jakarta, jadi semua bunyi “a” di dekat akhir kata diganti dengan bunyi “e”, biar mirip orang Jakarte katenye)

Bagaimana dengan konsumsi BBM?
Dengan teknologi yang sama, jarak tempuh yang sama, tentu KR-2 lebih hemat dibanding mobil, jauh lebih hemat. Kenapa demikian? Ya karena KR-2 mesinnya lebih kecil, minum BBM lebih sedikit. Secara detail teknis hal ini bisa ditanyakan kepada siswa STM jurusan otomotif, nggak usah kepada gurunya, nggak usah kepada dosen fakultas teknik jurusan mesin di banyak universitas-universitas ternama di negeri ini. Tidak usah pula diperdebatkan di televisi dengan menghadirkan pakar mesin dan transportasi. Ini pertanyaan sepele-pelenya.
Belum lama lalu kelangkaan BBM sempat mendera masyarakat. Mereka rela antri demi setuang BBM, sampai-sampai ada kejadian orang antri BBM salah jalur, tidak dilayani, lalu emosi, lalu ngomong di media sosial dan bikin emosi masyarakat, terus disidang di sekolahnya, lalu dapat sanksi.
Jika kita ingin menghemat BBM, tentunya gunakanlah kendaraan hemat BBM, salah satunya adalah dengan menggunakan KR-2, bisa sepeda motor, bisa juga sepeda kayuh. Yang terakhir itu iritnya tak tertandingi seperti iklan di TV.

Kembali lagi ke jalan. Bila kita perhatikan di persimpangan jalan yang dilengkapi dengan lampu pengatur lalu lintas, saat lampu merah berganti hijau maka sepeda motor akan melaju lebih cepat dibanding mobil, bahkan meliuk di sela-selanya. Kenapa hal itu terjadi? Karena akselerasi sepeda motor saat itu lebih besar daripada mobil. Ini terjadi mungkin karena sepeda motor lebih ringan, atau karena pengendalian motor lebih sederhana dan mudah, atau mungkin juga karena motor lebih kecil?!!! Sehingga pengendaranya cukup lihat depan dan sedikit lirik kanan kiri maka keadaan sekitar sudah cukup terkuasai, lalu tancap gas. Lain halnya mobil, tengok kanan kiri, perhatikan spion kanan kiri, lihat depan, kanan kiri lagi, dan lagi, dan lagi, belum lagi urusan dengan hand brake.
Anda ingin segera bebas dari keruwetan semacam ini? Gunakan sepeda motor!

Di musim kemarau, pemandangan lazim di jalan adalah debu yang bercampur dengan asap knalpot yang menyesakkan dada. Pengalaman yang paling menjengkelkan adalah saat kita melaju di belakang mobil di jalan yang tak terlalu lebar. Ketika sesama mobil berpapasan dan roda kiri harus keluar aspal, mencakar tanah kering dan menghamburkan debu ke udara, maka kita jua yang menjadi konsumen debu “segar” itu. Segar dalam arti baru saja diproduksi, tapi eneg di hati.
Lalu pernahkah anda punya pengalaman dengan genangan air di jalan? Ini biasanya terjadi di musim penghujan. Saat hujan atau sesudahnya, jalan yang berlobang menjadi tempat genangan air yang potensial sebagai “sumber irigasi” yang efektif bagi pihak di dekatnya, termasuk pengguna jalan lainnya. Saat terlindas roda kendaraan, fungsi “pengairan” pun berjalan. Air nyiprat sejadi-jadinya. Volume cipratan berbanding lurus dengan besarnya genangan, lebar ban dan kecepatan kendaraan. Nah.. lagi-lagi ukuran kendaraan pegang peranan dalam mengancam kenyamanan. Dan, juga peranannya dalam merusak jalan hingga menghasilkan cekungan genangan itu tadi. Jadi pilih mana? Apakah anda suka perjalanan berdebu atau berkubang, atau perjalanan yang mulus segar dan sejuk tanpa ancaman air comberan?

Dalam benak kita, mungkin ada pemahaman bahwa besar sama dengan cepat. Pesawat terbang yang lebih besar terbangnya lebih cepat. Dalam dunia balap Moto GP pun demikian, makin tinggi kelasnya, makin besar mesinnya, makin tambun motornya, makin cepat larinya. F1 pun sama, dia lebih bongsor dibanding gokart, maka larinya pun lebih dahsyat. Dan pemahaman ini kita bawa saat mencari jenis kendaraan yang akan kita gunakan untuk kegiatan harian, yang penggunaannya adalah di jalan raya. Padahal dari semua kendaraan idola tadi tak satupun yang pernah merajai jalanan. Belum pernah terbukti kehandalannya dalam mengantarkan pemiliknya membelah kemacetan ibu kota misalnya, atau menjadi juara dalam lomba akselerasi di lampu merah. Semua hidup di habitatnya, dengan kondisi yang dirancang memang khusus untuk mereka.
Sedangkan di jalan raya? Di tempat kita ini, jalan raya masih merupakan ajang pembuktian prestasi berkendara sejati. Tantangannya jauh lebih hebat daripada di lintasan balap. Para pekerja dan pelajar berangkat pagi pulang siang atau sore. Ibu-ibu berbelanja atau antar jemput anak sekolah. Dan lain sebagainya, tanpa ada bendera kuning, safety car, umbrella girl, pit stop, wearpack, sliding pad, asuransi juga belum tentu ada, dan etc etc.. dan selalu saja ada pihak yang egois, maunya meniru para idola-nya tanpa merenung dan menyadari bahwa yang akan dihadapi adalah jalan raya yang menampung bermacam jenis kendaraan, dengan manuver dan tujuannya masing-masing.
Mengingat kondisi lalu lintas yang cenderung makin padat dan konsumsi BBM serta polusi yang kian meningkat, pola pikir yang menganggap besar sama dengan cepat sudah saatnya kita pertimbangkan kembali. Sekarang mari bayangkan andaikata kita mengendarai sepeda kayuh atau sepeda motor bermesin 100cc saat berada di jalan yang lalu lintasnya padat. Adakah di sana pengemudi mobil, atau sepeda motor dengan kapasitas mesin besar, di atas 150cc misalnya, dapat melesat dan memanjakan raungan knalpotnya, lalu sesaat kemudian punggungnya lenyap dari pandangan kita, adakah seperti itu? Rasanya tidak juga, malah kemungkinan besar punggung itu akan terus menjadi pemandangan yang kita nikmati hingga perjalanan lancar kembali, dan itu mungkin berarti kita telah berada di gerbang masuk kantor kita masing-masing.
Makna dari gambaran situasi di atas adalah bahwa dengan mesin yang lebih besar (konsumsi BBM lebih boros tentunya) tidak ada jaminan bagi kita untuk mencapai waktu tempuh yang lebih singkat, Bagaimana dengan kendaraan yang lebih besar? Anda mungkin tahu jawabannya..

Menggunakan kendaraan yang lebih kecil juga menambah keuntungan bagi tukang parkir, karena tempat untuk satu mobil bisa diisi dengan paling sedikit empat KR-2. Tarif parkir umum di Yogya sekarang (Agustus 2015) satu mobil Rp. 2000,- sedangkan KR-2 Rp. 1000,-. Malah di beberapa tempat KR-2 nya bisa dipadatkan jadi lebih dari empat unit pada luasan tempat parkir yang sama. Silakan hitung selisihnya. Dan bagi para juru parkir, monggo layani pengguna KR-2 dengan sepenuh hati, dari merekalah rezeki datang lebih banyak tanpa teriak-teriak “kiri kanan balas lurus yaaak hooopp... jangan di handbrake ya Boos...” Belum lagi saat mobilnya mau keluar di jalan yang ramai, masih pakai acara balik arah lagi, beri aba-aba lagi, atur lalu lintas... pusyiiing...

Lalu.. kita di pihak mana? Mau jadi pihak penambah ruwet jananan? Atau warga negara yang baik, yang menggunakan sesuatu sesuai kebutuhan, bukan keinginan?
Monggoooo...
Atau para pemikir, para peneliti, penentu kebijakan, mau tergerak hatinya untuk peduli..

Monggoooo jugaaaa...

No comments:

Post a Comment